Manusia sebagai makhluk yang
berpikir akan dibekali rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang mendorong
untuk mengenal, memahami, dan menjelaskan gejala-gejala alam, juga berusaha
untuk memecahkan masalah atau persoalan yang dihadapi, serta berusaha untuk
memahami masalah itu sendiri, ini semua menyebabkan manusia mendapatkan
pengetahuan yang baik.
Pengetahuan yang diperoleh
mula-mula terbatas pada hasil pengamatan terhadap gejala alam yang ada,
kemudian semakin bertambahnya dengan pengetahuan yang diperoleh dari hasil
pemikirannya, setelah manusia mampu memadukan kemampuan penalaran dengan
eksperimentasi ini, maka lahirlah ilmu pengetahuan yang mantap atau bagus.
Jadi, perkembangan alam pikiran manusia sampai dengan
kelahiran Ilmu Pengetahuan Alam sebagai ilmu yang mantap, melalui 4 (empat)
tahap yaitu tahap mitos, tahap penalaran deduktif (rasionalisme) atau tahap
pemikiran rasional, tahap penalaran induktif (empirisme) atau tahap pemikiran empiris,
dan akhirnya sampai ke tahap pengkristalan konsep metode ilmiah.
Perkembangan Pikiran Manusia
- Sifat Unik
Dibandingkan dengan
makhluk lain, jasmani manusia adalah lemah, sedangkan rohani, akal budi, dan
kemauannya sangat kuat. Manusia tidak mempunyai tanduk, taji, ataupun sengat,
maka untuk membela diri terhadap serangan dari makhluk lain dan untuk
melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang merugikan, manusia harus
memanfaatkan akal budinya yang cemerlang. Kemauannya yang keras menyebabkan manusia
dapat mengendalikan jasmaninya.
Hal ini dapat
menimbulkan efek yang negatif misalnya, manusia dapat mogok makan, dapat
minum-minuman keras sampai mabuk, dan bahkan dapat bunuh diri. Kalau
tubuh mendapat pengaruh yang negatif dari lingkungan, maka timbul reaksi yang
mendorong tubuh supaya melepaskan diri dari lingkungan yang merugikan itu.
Tetapi kemauan keras dapat memaksa tubuh supaya tetap menerima pengaruh yang
negatif itu. Jadi, sifat unik manusia itu adalah akal budi dan kemauannya
menaklukkan jasmaninya.
- Rasa Ingin Tahu
Dengan pertolongan
akal budinya, manusia menemukan berbagai cara untuk melindungi diri terhadap
pengaruh lingkungan yang merugikan. Tetapi adanya akal budi itu juga
menimbulkan rasa ingin tahu yang selalu berkembang. Dengan kata lain, rasa
ingin tahu itu tidak pernah dapat dipuaskan. Akal budi manusia tidak pernah
puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Rasa ingin tahu mendorong
manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mencari jawaban
atas berbagai persoalan yang muncul di dalam pikirannya.
Kegiatan untuk mencari pemecahan
dapat berupa:
1.
Penyelidikan langsung.
2.
Penggalian hasil-hasil penyelidikan yang sudah pernah diperoleh orang lain.
3.
Kerjasama dengan penyelidik-penyelidik lain yang juga sedang memecahkan soal
yang sama atau yang sejenis.
C.
Rasa Ingin Tahu Menyebabkan Alam
Pikiran Manusia Berkembang.
Ada dua macam perkembangan yang
akan kita tinjau, yaitu:
1.
Perkembangan alam pikiran manusia sejak zaman purba hingga dewasa ini.
2.
Perkembangan alam pikiran manusia sejak dilahirkan sampai akhir hayatnya.
3.
Perkembangan alam pikiran dapat juga disebabkan oleh rangsangan dari luar,
tanpa dorongan dari dalam yang berupa rasa ingin tahu. Jadi dengan kata lain,
bahwa alam pikiran manusia berkembang terutama karena ada dorongan dari dalam,
yaitu rasa ingin tahu.
MITOS, PENALARAN, DAN PENGETAHUAN PANGKAL KELAHIRAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
A. Mitos
Menurut A. Comte, bahwa dalam
sejarah perkembangan manusia itu ada tiga tahap, yaitu:
1.
Tahap teologi atau tahap metafisika
2.
Tahap filsafat
3.
Tahap positif atau tahap ilmu
Dalam tahap teologi atau tahap
metafisika, manusia menyusun mitos atau dongeng untuk mengenal realita atau
kenyataan, yaitu pengetahuan yang tidak obyektif, melainkan subyektif. Mitos
ini diciptakan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran,
mitos, rasio atau penalaran belum terbentuk, yang bekerja hanya daya khayal,
intuisi, maupun imajinasi.
Menurut C.A. van Peursen, mitos
adalah suatu cerita yang memberikan pedoman atau arah tertentu kepada
sekelompok orang. Cerita itu dapat ditularkan, dapat pula diungkapkan lewat
tari-tarian atau pementasan wayang, dan sebagainya. Inti cerita adalah
lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia beserta lambang kejahatan
dan kebaikan, kehidupan dan kematian, dosa dan penyucian, juga perkawinan dan
kesuburan.
Pada tahap teologi ini, manusia
menemukan identitas dirinya. Manusia sebagai subyek yang masih terbuka
dikelilingi oleh obyek yaitu alam, sehingga manusia mudah sekali dimasuki oleh
daya dan kekuatan alam. Lewat mitos inilah, manusia dapat turut serta mengambil
bagian dalam kejadian-kejadian alam sekitarnya, dan dapat menanggapi daya
kekuatan alam.
Berikut ini akan dijelaskan
contoh-contoh mengenai mitos, yaitu:
a. Gunung
api meletus hebat, menimbulkan gempa bumi, mengeluarkan lahar panas dan
awan panas, sehingga menimbulkan banyak korban manusia. Manusia pada tahap
teologi (menurut A. Comte) atau pada tahap mitos (C.A. van Peursen) belum dapat
melihat realita ini dengan inderanya.
b. Gempa bumi diduga terjadi
karena Atlas (raksasa yang memikul bumi pada bahunya) memindahkan bumi dari
bahu yang satu ke bahu yang lain.
c. Gerhana
bulan disangka terjadi karena bulan dimakan raksasa.
d. Bunyi guntur dikira ditimbulkan oleh
roda kereta yang dikendarai dewa melintasi langit.
Mencari jawaban atas masalah
seperti itu, dan menghubungkannya dengan makhluk-makhluk gaib, disebut berpikir
secara irasional. Demikianlah manusia pada tahap mitos atau teologi menjawab
keingintahuannya dengan menciptakan dongeng-dongeng atau mitos, karena alam
pikirannya masih terbatas pada imajinasi atau intuisi.
B. Penalaran Deduktif (rasionalisme)
Dengan bertambah
majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan,
manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang mitos.
Menurut A. Comte,
dalam perkembangan manusia sesudah tahap mitos, manusia berkembang dalam tahap
filsafat. Pada tahap filsafat, rasio sudah terbentuk, tetapi belum ditemukan
metode berpikir secara obyektif. Rasio sudah mulai dioperasikan, tetapi kurang
obyektif. Berbeda dengan pada tahap teologi, pada tahap filsafat ini manusia
mencoba mempergunakan rasionya untuk memahami obyek secara dangkal, tetapi obyek
belum dimasuki secara metodologis yang definitif.
Perkembangan alam
pikiran manusia merupakan suatu proses, maka manusia tidak puas dengan
pemikiran ini, sehingga berkembang ke dalam tahap positif atau tahap ilmu.
Dalam tahap positif atau tahap ilmu ini, rasio sudah dioperasikan secara
obyektif. Manusia menghadapi obyek dengan rasio.
Dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa alam, misalnya gunung api meletus yang menimbulkan banyak
korban dan kerusakan, manusia tidak lagi mengadakan selamatan dengan tari-tarian
dan nyanyian, tetapi akan mengamati peristiwa itu, mempelajari mengapa gunung
api itu dapat meletus, kemudian berusaha mencari penyelesaian dengan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan hasil pengamatannya. Misalnya, dengan
mencegah terjadinya letusan yang hebat. Untuk mengurangi banyaknya korban,
penduduk di sekeliling gunung api tersebut dipindahkan ke daerah lain. Inilah
bukti bahwa manusia lama-kelamaan tidak puas dengan mitos sebagai pemikiran
yang irasional, kemudian mencari jawaban yang rasional.
Dengan demikian,
jelas bahwa penalaran deduktif ini pertama-tama harus mulai dengan pernyataan
yang sudah pasti kebenarannya. Aksioma dasar ini yang dipakai untuk membangun
sistem pemikirannya, diturunkan atau berasal dari idea yang menurut anggapannya
jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Dengan penalaran deduktif ini
dapat diperoleh bermacam-macam pengetahuan mengenai sesuatu obyek tertentu
tanpa ada kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di samping itu juga
terdapat kesulitan untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan praktis.
C. Penalaran Induktif (empirisme)
Pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai kelemahan, maka muncullah
pandangan lain yang berdasarkan pengalaman konkret. Mereka yang mengembangkan
pengetahuan berdasarkan pengalaman konkret disebut penganut empirisme. Paham
empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang
diperoleh langsung dari pengalaman konkret.
Penganut empirisme menyusun
pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif. Penalaran induktif adalah
cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan, atas
gejala-gejala yang bersifat khusus. Misalnya, pada pengamatan atas logam besi,
tembaga, aluminium, dan sebagainya, jika dipanasi ternyata menunjukkan
bertambah panjang.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengetahuan yang diperoleh hanya dengan penalaran deduktif
tidak dapat diandalkan karena bersifat abstrak dan lepas dari pengalaman.
Demikian pula dengan pengetahuan yang diperoleh hanya dari penalaran induktif
juga tidak dapat diandalkan karena kelemahan pancaindera. Karena itu himpunan
pengetahuan yang diperoleh belum dapat disebut ilmu pengetahuan.
D. Pendekatan Ilmiah sebagai Kelahiran Ilmu
Pengetahuan Alam
Metode keilmuan atau pendekatan
ilmiah adalah perpaduan antara rasionalisme dan empirisme. Pengetahuan yang
disusun dengan cara pendekatan ilmiah atau menggunakan metode keilmuan,
diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ini dilaksanakan
secara sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data-data empiris. Kesimpulan
dari penelitian ini dapat menghasilkan suatu teori. Metode keilmuan itu
bersifat obyektif, bebas dari keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi, serta
bersifat terbuka.
Jadi, suatu himpunan pengetahuan
dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan bilamana cara memperolehnya
menggunakan metode keilmuan, yaitu gabungan antara rasionalisme dan empirisme.
Secara lengkap dapat dikatakan bahwa suatu himpunan pengetahuan dapat disebut
Ilmu Pengetahuan Alam bilamana memenuhi persyaratan berikut, yaitu: obyeknya
pengalaman manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan melalui
metode keilmuan serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.
* METODE
ILMIAH SEBAGAI CIRI ILMU PENGETAHUAN ALAM
Berpikir secara rasional dan
berpikir secara empiris membentuk dua kutub yang saling bertentangan. Kedua
belah pihak, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Gabungan
antara dua pendekatan rasional dan pendekatan empiris dinamakan metode ilmiah.
Rasionalisme memberi kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan
empirisme dalam memastikan kebenarannya memberikan kerangka pengujiannya.
Dengan demikian, maka pengetahuan yang dihasilkan yaitu pengetahuan yang konsisten
dan sistematis serta dapat diandalkan, karena telah diuji secara empiris.
Metode ilmiah merupakan cara
dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dan dapat juga dikatakan bahwa
metode ilmiah merupakan gabungan antara rasionalisme dan empirisme. Cara-cara
berpikir rasional dan empiris tersebut tercermin dalam langkah-langkah yang
terdapat dalam proses kegiatan ilmiah tersebut.
Kerangka dasar, prosedurnya dapat
diuraikan atas langkah-langkah seperti berikut:
1. Penemuan
atau penentuan masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
menghadapi berbagai masalah dan kesadaran mengenai masalah yang kita temukan
secara empiris tersebut menyebabkan kita mulai memikirkannya secara rasional.
2. Perumusan
kerangka masalah
Langkah ini merupakan usaha untuk
mendeskripsikan permasalahannya secara lebih jelas.
3. Pengajuan
hipotesis
Hipotesis adalah kerangka
pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antara unsur-unsur yang membentuk
suatu kerangka permasalahan.
4. Deduksi
hipotesis
Kadang-kadang, dalam menjembatani
permasalahan secara rasional dengan pembuktian secara empiris membutuhkan
langkah perantara.
5. Pengujian
hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk
mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan deduksi hipotesis.
6. Keterbatasan
dan keunggulan metode ilmiah.
Keterbatasan:
Semua kesimpulan ilmiah atau
kebenaran ilmu termasuk Ilmu Pengetahuan Alam bersifat tentatif, yang artinya
kesimpulan itu di anggap benar selama belum ada kebenaran ilmu yang dapat
menolak kesimpulan itu, sedangkan kesimpulan ilmiah yang dapat menolak
kesimpulan ilmiah yang terdahulu, menjadi kebenaran ilmu yang baru.
Yang dimaksud dengan
sikap ilmiah tersebut adalah sikap:
a.
Mencintai kebenaran yang obyektif, dan bersikap adil.
b.
Menyadari bahwa kebenaran ilmu tidak absolut.
c.
Tidak percaya pada takhayul, astrologi, maupun untung-untungan.
d.
Ingin tahu lebih banyak.
e.
Tidak berpikir secara prasangka.
f.
Tidak percaya begitu saja pada suatu kesimpulan tanpa adanya bukti-bukti yang
nyata.
g.
Optimis, teliti, dan berani menyatakan kesimpulan yang menurut keyakinan
ilmiahnya adalah benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar