BAB
I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Cultural diversity atau dalam bahasa Indonesia adalah
keanekaragaman budaya, merupakan hal yang sangat akrab di Indonesia. Bukti dari
keanekaragaman tersebut seperti, Indonesia memiliki 300 kelompok suku dan
puluhan kebudayaan pada tiap-tiap daerah. Keragaman budaya di Indonesia adalah
sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman
masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa. Masyarakat
Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan
yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada
didaerah tersebut. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2000, masyarakat
Indonesia mencapai 200 juta jiwa, dimana mereka tinggal tersebar di pulau-
pulau di Indonesia dan juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis
yang bervariasi. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban
kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya yang tinggi.
Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa, namun juga
keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan
kewilayahan.
Dengan
keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang
lengkap dan bervariasi. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi
antar kelompok suku bangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban
yang ada di dunia. Indonesia dikatakan sebagai pusat peradaban dunia,
sebagaimana banyak para peneliti barat yang telah mengungkap hal itu.
Setiap suku – suku di Indonesia mempunyai
keunikannya masing – masing. Seperti Suku Toraja yang di kenal dengan upacara
adatnya. Karena mayoritas penduduk Suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan
nenek moyangnya, maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap di jalankan
sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat ‘Rambu
Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkai upacara – upacara adat
yang masih di lakukan dan cukup terkenal.
1.2
Batasan Masalah
Keanekaragaman di Indonesia ini merupakan suatu
kekayaan yang dimiliki dan harus disyukuri oleh Negara ini. Terdapat banyak
suku pada tiap-tiap daerah di Indonesia, pada penulisan ini, penulis ingin
memberikan salah satu contoh kebudayaan dari Suku Batak. Informasi yang diterangkan pada penulisan ini terdiri dari : agama yang dianut, penduduk, sistem kemasyarakatnya,
bahasa, lokasi, kekerabatan dalam suku, tarombo dan kontroversi yang terjadi
hingga sekarang dalam suku Batak. Pada tulisan ini juga di tampilkan image dari penduduk
dan masyarakat suku budaya Batak.
BAB
II
SUKU
BATAK
2.1 Sejarah
Batak
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak
diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan
Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang
berbahasa Austronesia dariTaiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar
2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum).
Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum(Zaman
Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang
Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad keenam,
pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota
dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara.
Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman.
Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu
komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad kesepuluh, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya,
perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan
koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka
terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Batak merupakan salah satu suku bangsa
di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera
Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah:
Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama
Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim
dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu),
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Gambar 2.1 Suku Batak
2.2 Penyebaran Agama
Penyeberan
agama di tanah batak dimulai pada abad ke-13, dimana tiap agama masuk ke tanah
batak pada tahun yang berbeda-beda. Sebelum masuknya agama ke tanah batak,
masyarakat suku batak menganut sistem kepercayaan.
2.2.1 Kepercayaan
Sebelum
suku Batak Toba menganut agama Kristen
Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi
tentang Mulajadi Nabolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud
dalam Debata Natolu. Menyangkut
jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
·
Tondi
adalah
jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi
nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila
tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal,
maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
·
Sahala
adalah jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang
memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki
para raja atau hula-hula.
·
Begu
adalah
tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku
manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah
religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaka. Walaupun sudah
menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum semuanya
meninggalkan religi dan kepercayaan yang diberikan para leluhurnya.
2.2.2 Masuknya Islam
Dalam
kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo
melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan
tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta,
mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan
Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam
sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya,
banyak pedagang Minangkabau yang melakukan pernikahan dengan perempuan Batak.
Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah
masyarakat Batak.
Pada
masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan
Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba,
tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka
menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di
utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak.
Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di
pesisir Sumatera Timur.
2.2.3 Misionaris Kristen
Pada
tahun 1824, dua misionaris pembabtis asal Inggris, Richard
Burton dan Nathaniel Ward berjalan
kaki dari Sibolga menuju
pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran
tinggi Silindung dan
menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan
observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun
1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan
Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.
Pada
tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk
menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman
berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran
pengkristenan mereka.
Misionaris
pertama asal Jerman tiba
di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan
dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian
Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen
pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada
tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun
1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan
ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat
Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad
ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini
merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda,
dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan
pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh
orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik
mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
telah berdiri di Balige pada bulan September 1917.
Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan
kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) didirikan.
2.3 Lokasi
Suku Batak
Suku
batak tersebar dan berdiam di pulau Sumatra, suku batak berdiam di Sumatra
utara. Suku batak teridentifikasi beberapa bermukim dan berasal dari Tapanuli
dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai
Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing.
Gambar 2.2 Peta Lokasi Tanah Batak
2.4
Kekerabatan Suku Batak
Kekerabatan
adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua
bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada.
Bentuk
kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari
silsilah marga mulai
dari Si Raja Batak, dimana
semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar
marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi
kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya
misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap dengan Marga lainnya.
Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak
tradisi antar daerah.
Adanya
falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan
parhundul”, merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan
baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan
adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya
tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Gambar
2.3 Rumah Adat Batak
2.5 Sistem Kemasyarakatan Suku Batak
Masyarakat
Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya, yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut “Dalihan na
Tolu”. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut kelima puak Batak:
1.
Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba
Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2.
Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola)
• Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3.
Tolu Sahundulan (Simalungun) •
Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru
Ningon Elek, Pakkei
4.
Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man
Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5.
Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah
Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Hulahula/Mora
adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling
dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak)
sehingga kepada semua orang Batak dipesankan untuk hormat kepada Hulahula
(Somba marhula-hula).
Dongan
Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga.
Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon
yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya
kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga
bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati
dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak
(berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Gambar 2.2 Pakaian adat batak masing-masing etnis
Boru/Anak
Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga
lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan,
baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat.
Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan
semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan:
Elek marboru.
Namun
bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan
Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua
masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga
sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga
dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam
tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka
dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan
Tubu dan Raja ni Boru.
Gambar
2.2 Kain Ulos khas Batak
2.6 Ritual
Kanibalisme di Suku Batak
Ritual
kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang
bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak
tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam
memoir Marco Polo
yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April
sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang
menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai
"pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat
cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau
Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke
pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan
ritual tersebut.
Niccolò Da Conti
(1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di
Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara
(1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi
singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech
kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
Thomas Stamford Raffles pada 1820
mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi
daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.
Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan
orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu
penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau
dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para
dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak
pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara
orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan
bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang
ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan
yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang
dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud
menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai
tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku
pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar
von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual
kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya,
terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel
menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan
berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit
yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah,
dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka
menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer mengunjungi
Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme
apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan
dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan
kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian
didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja,
selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging
kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya
dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk
mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada
1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali
mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya
kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal
ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.
2.7 Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam
khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya,
namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah
juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing
berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak
“Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah
Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala
Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas
banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan
Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”.
2.8 Tarombo pada
Suku Batak
Tarombo merupakan istilah silsilah garis keturunan secara
patrilineal dalam suku Batak. Mengetahui silsilahnya merupakan kewajiban bagi
masyarakat Batak agar mengetahui kekerabatannya dalam suatu marga.
2.9 Kontroversi pada
Suku Batak
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing
tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul
disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh
bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang
Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera,
khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa.
Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi.
Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal
Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan
Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak.
Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya
tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola,
yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau
Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh
pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah
tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat
bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing.
Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli,
bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak
identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari
Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian
dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli
(1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi
Tapanuli (2008-2009). Pada akhirnya Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000,
pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan
Angkola sebagai etnis Batak.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Indonesia memiliki kekayaan dalam keanekaragaman budaya, suku, dan adat istiadat yang sangat
banyak, Salah satu contohnya adalah Batak. Suku
yang berdiam di provinsi Sumatra Utara ini memiliki banyak
kebudayaan-kebudayaan yang unik. Dari mulai agama
yang dianut, penduduk, etnis-etnis, sistem kemasyarakatnya, bahasa, lokasi,
kekerabatan dalam suku, tarombo dan kontroversi yang terjadi hingga sekarang
dalam suku Batak.. Tentunya
banyak diminati para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara
sebagai objek wisata. Namun masyarakat sekarang sering kali tidak menyadari
untuk memelihara dan melestarikannya.
3.2 SARAN
Penulis berharap khususnya para remaja sekarang, untuk
saling menjaga, merawat, dan melestarikan serta mengembangkan budaya dan
keindahan alam di Indonesia. Dengan cara ikut memelihara dan memperbanyak sarana
dan prasarana yang menunjang objek wisata di Sumatra Utara, yaitu Suku Batak.
Begitu pula dengan kebudayaan khas dari suku Batak yang merupakan aset daerah
untuk dilestarikan, dikembangkan, dijaga, dan diperkenalkan agar tidak dirampas
oleh Negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] URL:
[2] URL:
[3] URL:
[4] URL:
[5] URL:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar